sejak tercipta dinding-dinding bisu
dalam kebutaan aku mencari dinding-dinding lain
berupa perempuan untuk aku sekedar bersandar
ooo, entah sudah berapa dinding yang aku bersandar disana
sudah berapa pasang buah dada ku kecap nikmatnya
tapi, sedikitpun tiada kurasa
buah dada – buah dada yang ranum itu
hanya bisa tengadah mendengarkan aku bercerita
mereka mengangguk-angguk palsu
seolah mengejek aku yang telah ditinggal waktu
sementara itu, kesepian
masih saja menyeringai didalam keramaian
lalu siapa yang sebenarnya aku rindukan, dirimukah?
tidak, dinding-dinding itu akan aku hancurkan
menjadi puing-puing dari dinding-dinding purba kota tua
hingga darwisy yang lewat pun tak lagi peduli
lalu kuhancurkan sekali lagi menjadi debu-debu walau untuk itu aku pun ikut menjadi debu
kita seolah debu-debu yang beterbangan ditiup angin lalu diam di timpa hujan
hingga tak lagi ada seorang perawi pun yang mampu meneruskan cerita kita
tak lagi seorang pujangga pun yang menyairkan suara kita
dan tiada seorang ahli sejarah pun mampu menemukan manuskrip kisah kita
kisah kita hanyalah buku sajak yang di siram air mata,
tak lagi bisa disebut buku sajak, hanyalah sebuah buku kosong
karena sajak-sajaknya telah terhapus duka
Si Latung Mencari Sayap
14 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar