Sabtu, 17 Oktober 2009

Keris yang Hilang

KERIS YANG HILANG
Cerpen oleh : MK Dilaga

Keris itu selalu menghiasi rumah kami, entah sudah sejak kapan keris itu disana, tergantung ditembok ruang tamu dan merupakan warisan dari nenek moyang kami.

Kadang aku selalu membayangkan bahwa keris tersebut dulu telah atau mungkin sering menenggak darah, itulah sebenarnya yang akan membuat sebuah pusaka terasa memiliki aura kemagisan, semakin ia digunakan semakin hidup pula kekuatannya. Bukankah keris memang difungsikan untuk itu, sebagai senjata tikam atau tusuk dan tak mungkin digunakan untuk mengiris bawang atau mengupas kulit apel. Tapi selama dirumah kami keris itu selalu menggantung di tembok seolah menjadi bagian dari hari-hari kami, seolah sedang mengawasi keseharian kami.

Keluargaku adalah termasuk keluarga yang taat beragama, tapi entah untuk soal-soal mistikpun seolah cukup melekat, mungkin itulah kami sebagai orang jawa, yang selalu menjunjung kejawaannya, sehingga menjadikan ajaran agama dan mistik adalah seolah berdampingan.

Pada hari ini, keluarga kami dikejutkan oleh hilangnya keris yang selama ini menemani keluarga kami. Seribu pertanyaan seolah menyeruak didalam hati kami sekeluarga.

“ Mungkin karena kita tak lagi menjamasnya hingga kyai tak betah dirumah kita makanya dia pergi. Kalau ada yang mengambilnya itu tak mungkin, tentu kyai akan datang dan memberitahukannya. ” Kata bapakku.

Kyai adalah sebutan untuk keris jawa. Seperti manusia ternyata kerispun mempunyai nama atau julukan seperti Kyai Brojol, Kyai Bandaspati, Kyai Panembahan Senopati dan lain sebagainya sesuai dengan fungsi dan khodam yang menempati keris tersebut. Entah dari mana istilah khodam ini mulai dipakai yang aku tahu khodam berasal dari bahasa arab yang artinya pembantu, pendamping atau bahasa kerennya kacung. Tapi ternyata di Jawa ini khodam atau jin khodam ternyata lebih di anggap tuan dari pada pembantu, bahkan ada yang menganggapnya sebagai Tuhan. Ah, sesuatu yang sudah diluar nalar.

Sehari sebelumnya sebelum kejadian itu, kulihat ada pedagang ubi di depan rumah. Pedagang ubi di daerah kami itu biasanya menjual ubinya dengan cara ditukarkan atau dibarter dengan besi ataupun barang-barang plastik yang bisa didaur ulang.

Akupun berinisiatif untuk menukarkan keris itu dengan ubi tersebut Setelah melalui penawaran yang cukup singkat, Keris itu hanya bisa ditukarkan dengan satu kilo ubi.

“Ternyata Tuhan hanya seharga sekilo ubi.” gumamku sebelum kami sekeluarga menyantap ubi goreng tadi malam di temani sepoci kopi hangat.

2 komentar:

irwanbajang mengatakan...

Hahahha..enak ubi rebus kan Mbh, dari pada harus mandiin keris..hehehe
Coba jual di kolektor, pasti agak mahal tuh n bisa beli sekarung ubi.
:D

M.K. Dilaga mengatakan...

Hehehe...

Kayaknya Mbahmu salah jual ya hihihi...